Melalui Terpaan Badai Tahun 98

Share

Siapapun yang sudah lahir dan cukup umur di tahun 98 an, pasti tahu, betapa mencekam masa-masa itu. Negara yang sedang gonjang-ganjing, ekonomi sulit. Bahkan sering kita temui Ibu-ibu mengantre untuk mendapatkan sembako, mahasiswa mengantre untuk mendapat nasi bungkus gratis.

Tahun 98 dan beberapa tahun sesudahnya adalah masa di mana hidup sedang dahsyat-dahsyatnya memberi pelajaran beratnya buat saya dan keluarga. Saya tidak yakin, apakah yang saya lakukan dalam rentang tahun 1998 hingga awal 2002 ini terbilang cukup nekad, menantang namun kemudian menghasilkan sesuatu yang berguna, sehingga cukup pantas untuk memenuhi tema ODOP hari ini. Tapi, biarlah saya tulis saja. Mengingat salah seorang sahabat saya pernah berkata seperti ini, mengomentari apa yang saya alami dan perjuangkan di masa itu, “Aku enggak bisa mengira, peran apa yang Tuhan siapkan buat kamu di masa depan sehingga begini berat cobaanmu”.

Saya terlahir dalam keluarga sederhana, bapak saya seorang PNS dengan karier cukup baik di institusinya. Seorang lelaki dengan cita-cita tinggi, namun sayangnya hingga kepergiannya, berkali-kali mengalami kegagalan dalam usahanya membuat keluarganya lebih makmur. Tahu kan, PNS tanpa pekerjaan atau bisnis sampingan, berapa sih penghasilannya? Nah, ayah saya keukeh berusaha mulai dari ternak ayam, kambing, berbagai usaha pertanian, namun sayangnya gagal lagi…dan lagi. Ibu saya seorang perempuan sederhana, hanya tamatan SMP. Beliau Ibu rumah tangga yang juga tidak pandai berdagang. Berkali-kali beliau berusaha menambah penghasilan keluarga dengan berjualan pakaian dan lain-lain, namun tak banyak yang bisa dihasilkan.

Bapak terkena serangan jantungnya yang pertama, saat saya duduk di kelas dua SMA. Sejak saat itu, kesehatan Beliau tidaklah pernah menggembirakan. Syukurlah, dalam kondisi memprihatinkan (karena bapak sangat sering sakit dan keluar-masuk rumah sakit), prestasi akademik saya tetap baik. Saya menyelesaikan SMA dengan cemerlang dan menaklukkan UMPTN sehingga tiket masuk PTN idaman ada ditangan.

Tahun 98, saat saya kuliah semester dua, bapak tiba-tiba berpulang. Ini mengejutkan sekali, karena di kontrol dokter terakhir, kesehatan beliau dinyatakan membaik dan sudah tak perlu lagi mengkonsumsi setumpuk obat-obatan seperti biasanya. Dunia runtuh seketika….Saya benar-benar merasakan pedihnya kehilangan. Apalagi, saya lebih dekat pada bapak dibanding ibu. Sejenak dunia saya terasa begitu gelap. Saya bahkan tidak tahu, apakah studi saya dapat lanjut atau tidak.

Pertama kali menerima uang pensiun, ibu menangis sejadi-jadinya. Nominalnya membuat kami sangat gamang, bagaimana nasib kami sesudahnya. Ibu bukan sosok yang pintar cari duit. Jadi entahlah bagaimana selanjutnya. Ini bukan akhir … ini baru awal dari penderitaan selanjutnya. Saya dan ibu mengalami gangguan kesehatan yang lumayan parah, sepeninggal Bapak. Kesedihan mendalam, mungkin telah menggerogoti kesehatan kami. Saya bangkit lebih awal. Sementara Ibu, beliau berlarut-larut dalam kondisi kesehatan yang tidak melegakan.

Kondisi ini masih diperparah berbagai konflik di keluarga besar. Beberapa orang usil yang tidak cukup melihat kami sedih karena kehilangan orang yang kami cintai, masih pula mengganggu hidup kami. Ditambah lagi terpaan krisis moneter yang kerap disebut sebagai krismon, masa itu, makin lengkaplah penderitaan kami.

Saya tidak tahu, bagaimana saya sanggup mengatasi satu persatu persoalan, masa itu. Saya hanya bertahan saja, sambil bilang pada diri saya sendiri. Dikit lagi… ayo, jangan nyerah… dikit lagi aja. Salah satu upaya yang saya lakukan untuk bisa menambah uang untuk keperluan kuliah ada 2. Pertama, berburu beasiswa dan kedua berjualan. Dengan sedikit uang pemberian Ibu, terkadang pinjaman dari Mbah, setiap jumat siang selepas kuliah saya menuju Pasar Turi untuk kulakan jilbab dan printilannya. Hari senin, bisa dipastikan saya ngelapak sebelum jam kuliah. Baca juga: Perempuan bloger dan impian pendidikan tinggi.

Upaya lainnya adalah berusaha menekan pengeluaran sebisa mungkin. Saya biasa hanya beli makanan sebungkus sehari. Sarapan hanya dengan Ener*** lalu makan siang setengah bungkus nasi, dengan lauk tahu-tempe dan sayur yang berlimpah. Setengah bungkusnya lagi? Itu buat jatah makan malam. Demi dapat makan siang gratis seminggu sekali, saya rela menjadi asisten lab tanpa bayaran, hanya dengan imbalan makan siang. Gitu aja sudah luar biasa bahagianya. Apalagi makan siang di lab biasanya menunya terhitung mewah untuk ukuran mahasiswa. Haha.

Syukurlah, masa kelam akhirnya berakhir juga, entah kapan tepatnya. Yang jelas makin menuju akhir masa kuliah, rasanya semua baik-baik saja. Jangan ditanya, apakah hasil jualan saya gede? Menurut hitungan saya ya sekadarnya saja. Bahkan terkadang merugi. Namun, pengalaman tersebut sangat berharga buat saya dalam mengatasi kesulitan hidup yang muncul sesudahnya. Berbisnis kemudian menjadi semacam hobi, yang saya lakukan hingga kini. Tentu, saya tak lagi harus kulakan dan ngelapak seperti zaman kuliah. Tumbuhnya bisnis online, memudahkan saya tetap bisa berbisnis di sela-sela tugas sebagai PNS. Baca juga: Rahasia mendapatkan banyak peluang dari blog.

Jadi, ini tulisan saya untuk ODOP hari ini. Sedikit teraduk-aduk emosi saat menulisnya. Ada sedikit bening di mata saya, tapi saya tahu… semua sudah berakhir. Saya bersyukur, kini hidup terasa jauh lebih ramah buat saya. Hidup cukup, dengan dua anak yang sehat dan ceria, keluarga yang utuh, Ibu yang masih ada diantara kami bisa kami sayang-sayang, dan Tuhan sungguh baik telah mengijinkan saya mengejar satu demi satu impian saya. So, kalau ada teman berceloteh, “enak bener hidup kamu”. Saya Cuma bisa kasih senyum saja. Karena saya sudah melalui semua yang pahit-pahit yang tak pernah dia tahu. Senyumin aja shay….senyumin….

Salam hangat, selamat berjuang kepada semua sahabat yang merasa roda hidup sedang menempatkannya di bawah.

Share

14 thoughts on “Melalui Terpaan Badai Tahun 98

  1. 1998 aku masih SD Mbak. Belum ngerti krismon, yang ada di otakku hanya main.

    Aihh, setiap orang punya masanya sendiri ya. ?
    Moga makin berkah ke depannya, mbak Widya. Big hug.

  2. inspiring mba kisahnya.. hebat bisa kerja sambil kuliah.. saya ga ada bakat dagang sama sekali.. huhu
    Dulu saya juga pernah ngalamin saat kuliah, Alhamdulillah saat itu (tahun 2012/2013?) pemasukan ‘cuma’ dari beasiswa 150rb/bulan yang dipakai untuk fotokopi2 handout, makan,, dll. sampai akhirnya untuk makan cuma modal beli 1 tempe tepung d warung Rp 500 +cabe rawit (belinya nitip teman kos karena malu klo cuma beli 1, hehe), 1 potong tempe dibagi 3 untuk 3x makan dlm sehari. kadang pakai pilus yg 500an, hehe.. Alhamdulillah d kos2an saya nasinya dimasak bareng2 (iuran beras 3kg/org/bulan) jadi tetap bisa makan nasi walaupun berasnya ‘ngutang’.. hehe

  3. Perjuangan hidup menempa kita hingga bisa kuat seperti saat ini. Semoga makin banyak kesuksesan teraih nanti, Mbak Wied…Aamiin:)

  4. Dampak krismon kena juga ke keluarga kami bbrp thn kemudian. Thn 2003 suami dirumahkan bersama ribuan karyawan lain, pabrik dikunci. Perlu waktu 10 thn u bangkit kembali. Penyelamatnya karena sekolah lagi, krn kami ga bisa dagang. Hehe…
    Sukses ya mbak Wid…sehat selalu.

  5. Saya baru masuk SMP waktu itu mbak. Sedikit was was juga karena banyak sisa2 aksi demo. Penghematan besar2an juga dilakukan oleh ibu

  6. Iya,aku mengalami krismon, tahun 1998 masih semester 6 lagi masa2nya malas kuliah dan mulai mengambil job part time.

    Duh, bacanya mengaduk -aduk emosi juga, mbayangin Ibu dan Mak Wid saat drop ditinggalin yang tercintanya.
    Semoga Ayahandanya tenang dan bangga pastinya dengan perjuangan Mak Wid

  7. 98 ya masih SD kelas 3 mbak. Dan apa yang mbak wid alami sekarang saya alami. Meski keadaan sudah membaik. Dijalani dan disyukuri saja

  8. Idem.. tapi itu semua telah menjadi bekal bagi kita untuk membuat seperti saat ini. Indah memang skenario Allah.

Leave a Reply to Arisandi Dh Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!