penilaian lomba blog

Refleksi Juri di Balik Penilaian Beberapa Lomba Blog Komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis

Share

Komunitas kami memang sejak awal pandemi terhitung aktif mengadakan lomba blog. Bagi saya sebagai leader komunitas, hal ini tentu patut disyukuri. Artinya IIDN mendapat kepercayaan dari para partner, selain itu juga wadah berlatih bagi para blogger IIDN menjadi semakin banyak.

Di sisi lain, melakukan pekerjaan penjurian juga bagi saya perlu semacam pertanggungjawaban secara professional. Makin ke sini, memandang pekerjaan penjurian bukan sekadar memilih pemenang. Akan tetapi saya pandang sebagai salah satu wujud kepedulian saya terhadap kualitas blogger secara umum. Akhirnya, perlu diiringi ukuran-ukuran obyektif yang bisa saya pertanggungjawabkan.

Tulisan ini saya buat sebagai bagian dari pertanggungjawaban, sekaligus harapan bahwa dari sini kita bisa sama-sama belajar. Semoga tak ada lagi jemawa bagi sesiapa yang acap menang lomba. Pun tak ada lagi anggapan bahwa menang lomba semata hanya karena keberuntungan saja. Karena dengan mencermati poin-poin di sini, setidaknya teman-teman pembaca akan lebih dahsyat persenjataannya saat nanti kembali berlomba.

Mereka yang Tulisannya Bagus Pasti Terpilih. Eh… Tunggu Dulu!

BAGUS itu terlalu abstrak. Dalam melakukan penjurian, saya makin ke sini makin berupaya keras untuk mengkonkretkan kata โ€œbagusโ€ ini. Menjadi juri itu berat, saya tidak ingin faktor selera mendominasi penilaian. Makanya saya butuh dibantu poin-poin penilaian, sehingga kata โ€œbagusโ€ tadi menjadi lebih nyata ukurannya.

Sebagai contoh dalam Lomba Blog IM3 Ooredoo bersama IIDN. โ€œBagusโ€ di lomba ini coba saya terjemahkan poin ini di bawah ini. Ini mengacu ke pengantar dalam pengumuman lomba.

  1. Harus mengandung unsur ide, pengalaman atau planning ngeblog ke depan (salah satu boleh). Ini tetap harus terkait dengan tema besar yakni โ€œMengoptimalkan Peluang Dunia Blogโ€™
  2. Harus mengandung materi setidaknya pada satu webinar
  3. Harus mengandung ulasan bagaimana produk/layanan IM3 Ooredoo dapat membantu upaya untuk mengoptimalkan blog
  4. Harus padu dan nyambung antar unsur di atas. Kok gitu? Iya lah, apa enaknya menikmati tulisan yang โ€œlepas-lepasโ€?

Nah, dengan dibantu poin tersebut, saya lakukan penilaian. Tentu ada banyak poin umum lain seperti misalnya teknik penulisannya, dukungan gambarnya, dan lain-lain layaknya persyaratan sebuah blogpost yang baik. Itu semua saya jlentrehkan lagi dalam poin-poin turunan misalnya: judul tulisan, lead, closing, ukuran gambar, keterbacaan gambar, keharmonisan desain, endebre-endebre. Piye, sampai sini mumet ra? Lol!

Nomor 1-3 itu sudah termuat di pengumuman lomba. Apakah semua peserta memenuhi? Oh tentu tidak. Poin 1 itu ada beberapa peserta yang tidak memasukkannya. Poin 4 banyak yang tidak memenuhi. Pasalnya, masih banyak peserta yang tulisannya terasa tidak berhubungan, kurang nyatu. Mungkin masih sulit menarik benang merah antara webinar yang mereka ikuti dengan tema besar. Nah, ini nggak boleh terjadi saat kita ikut lomba dan berharap menang. Langkah pertama itu kita kudu sudah ngelotok akan tema.

Banyak “tulisan bagus” yang akhirnya tidak bisa kami menangkan dalam beberapa lomba terakhir. Tentu ada sebabnya. Silakan baca sampai habis, ya.

Mengenali Maksud dan Arah Penyelenggaraan Lomba

Teman-teman ingat Writing Challenge โ€œMeneropong Negeri Kayangan Diengโ€. Di situ sudah dijelaskan secara gamblang, bahkan juga diwakili dalam judul dengan memilih kata โ€œmeneropongโ€. Apa yang dimaksud?

Kami bermaksud mendapatkan artikel fokus. Sempit namun dalam. Seperti saat meneropong, kita mengamati secara detail sesuatu yang tadinya tak tampak menjadi tampak.

Bahkan secara cetho terwelo-welo (jelas tanpa ditutup-tutupi) kami menuliskan sub tema yang bisa mereka pilih. Tetapi apa yang terjadi? Mayoritas peserta menuliskan dalam bentuk catatan perjalanan yang bentuknya luas tapi dangkal. Alih-alih memilih fokus pada tema yang lebih sempit.

Kami toh akhirnya tetap harus memilih. Dan memilih kali ini, jujur terasa sulit lebih-lebih bagi saya pribadi. Apalagi karena goalnya juga nantinya adalah penulisan buku, maka saya juga deg-degan, mampukah nanti yang terpilih menuntaskan tugasnya? Ini bukan tanpa alasan, namun berdasarkan tulisan peserta yang rata-rata referensinya kurang kuat dan temanya ambyar ke mana-mana, enggak fokus.

Nah, goal berupa penulisan buku inipun sudah dikomunikasikan. harapannya peserta jeli memaknai. Jadi seperti apa ya tulisan untuk buku?

Pemenuhan Persyaratan yang Kedodoran Termasuk oleh Blogger Langganan Jawara

Tidak semua bloger senior, atau bloger langganan menang lomba pasti dijamin telah memenuhi semua syarat dan ketentuan. Ini terjadi pada lomba IM3 Ooredoo bersama IIDN. Saya melihat amat banyak nama beken berguguran di tahap seleksi administrasi.

Lucunya, kami (saya bersama teman-teman divisi blog yang membantu menjuri) akhirnya kayak semacam gemes sendiri. Ya, ampunnn. “Tulisan bagus” begini masa gak bisa kita menangkan? Tapi ya gimana, wong memang gak memenuhi ketentuan.

Kesalahan umum seperti ini, banyak kami temukan:

Tidak memasang link (boleh jadi ybs merasa telah memasang namun belum diuji coba, atau lupa save/update)

Tidak follow akun penyelenggara, banyak yang setelah dicek mendetail ternyata salah follow akun. Akun IM3 Ooredoo yang kami minta follow sebagaimana tertulis di pengumuman adalah: @im3squad sedangkan akun IIDN yang kami peryaratkan untuk difollow adalah @ibuibudoyannulis. Lucunya ada peserta yang justru memfollow akun korwil kami saja yakni Ibu-ibu Doyan Nulis Solo Raya, akun yang disebut justru tidak difollow.

Tidak memasang hashtag sesuai ketentuan, mungkin lupa ya?

Itu semua sangat manusiawi kawan. Apakah karena saya telah ikut lomba lebih dari 100 kali, dan memenangi 25 lebih diantaranya lantas saya steril dari kesalahan semacam ini? Oh tidaaaak. Kok tahu? Ya karena saya introspeksi setiap habis lomba.

Mengenali Penyelenggara dengan Benar, Jangan Bikin Mereka Kecewa

Ini bagi sebagian orang mungkin terkesan, ih lebay! Tapi beginilah keadaannya.

Ketika suatu pihak mengadakan kompetisi, pasti memiliki tujuan-tujuan. Salah satunya yang amat umum adalah brand awareness. Termasuk bagi IIDN adalah untuk branding kami sebagai community.

Kami menemukan lo, penggunaan logo yang sebenarnya sudah bertahun-tahun tidak kami gunakan lagi. Jujur ya kecewa juga. Wong kami bikin webinar sampai 25 episode, di grup juga sangat aktif, website juga ada. Bagaimana bisa ada member yang masih pasang logo IIDN lama bergambar perempuan genit mengedipkan sebelah matanya? Sedih tapi itu kenyataan. Ya sudahlah. Dia tidak dapat kami menangkan. Karena bahkan mengenali kami saja salah.

Ada pula peserta dengan nilai tertinggi. Tetapi menyebut IIDN sebagai โ€œKomunitas Bloggerโ€. Hello. Risetnya gimana? Akhirnya terpaksa kami turunkan dari tahta calon pemenang pertama deh.

Tulisan yang Membuat Bingung

Ada salah satu karya, bagus dan inspiratif sebenarnya. Tapi ketika dicek penulisannya sesuai KBBI, yang bersangkutan ternyata menuliskan kalimat yang sebenarnya menjadi salah. Kami sebagai juri dan panitia ngerti lah maksud dia, tapi tetap saja dia menuliskan hal yang salah.

Jujur, ini menjadi diskusi lumayan berat juga. Saya sampai minta bantuan Mbak Fuatuttaqwiyah yang terkenal keahliannya sebagai editor pengampu Program Sabtu PUEBI di IIDN. Kata Mbak Fu, โ€œSalah ya tetap salah. Apalagi ini salahnya fatalโ€.

Dengan sedih, kembali artikel yang sebetulnya potensial ini gagal menang. Hiks. Juri juga gemas dan kecewa sebenarnya.

Kalau ada Pengalaman Pribadi Tentu Menang, Mbak. Eh, Kata Siapa?

SALAH! Maaf terkesan saya berteriak-teriak. Ini untuk meluruskan karena berkali-kali terjadi anggapan demikian. Pertama, semalam saat saya mengisi di Kelas Menulis Konten. Ketika salah satu belum menang di lomba blog, saya minta mengevaluasi apa kelebihan pemenang. Jawabannya adalah ada self experience.

Lalu tadi pagi juga ada komentar tentang pemenang lomba blog Dieng begini kira-kira: โ€œpantas Mbak X menang, tulisannya bagus dan kalau gak menang malah anehโ€ si komentator ini menjelaskan bahwa karena Mbak X orang dekat Dieng maka pastilah sudah tahu seluk-beluk dieng sehingga gak heran menang dan malah aneh kalau enggak menang.

Kini ingin saya tuliskan di sini. Menang lomba hanya karena self experience. NO…NO….NO. Big No! Jangan menyalahkan kalau hidup dan takdirmu belum memberimu experience yang layak untuk diangkat ke lomba. CARI!! Itu yang saya katakan kepada kelas saya semalam.

Bagaimana caranya? RISET. Kuliti produk habis-habisan. Bukan pada produknya an sich (secara fisik/permukaan) tetapi sampai ke value yang ada di balik-baliknya. BONGKAR! Jadilah creator yang haus dan sangat besar jiwa penasarannya. ย Kira-kira demikian yang saya sampaikan ke kelas. Semoga mereka gak puyeng. Ya kalau puyeng pun wajar. karena itu salah satu tanda bakal naik kelas. Wkwkwk.

Punya self experience dengan produk/tema bagi saya hanyalah kurang dari 10 persen modal menang. EKSEKUSI nya justru lebih menentukan apakah karya tersebut layak menang atau tidak

Refleksi

Sebagai juri, saya merasa ke depan memang sebuah tantangan untuk dapat membuat sistem penilaian lebih baik lagi. Merumuskan poin-poin dengan tepat sehingga minim campur tangan โ€œurusan seleraโ€ dalam menentukan pemenang. Meski demikian, urusan kekecewaan peserta yang tidak menang, akan tetap terjadi. Saya sangat sadari itu. Karena motivasi orang ngelomba juga macam-macam. Isi kepala mereka pun macam-macam.

Sebagai peserta, karena saya pun bloger yang aktif mengikuti lomba, makin ke sini makin terasa bahwa yang paling penting dari sebuah lomba adalah berlatih kebesaran jiwa. Kalau kita sudah berhasil ndlosor, sampai serendah-rendahnya, menundukkan ego. Maka hanya urusan enggak menang, itu kecil banget. Apalagi kalau sampai kecewa karena ternyata pemenangnya dipandang lebih yunior, uhhhh enggak bakalan. Mungkin kita menang di perlombaan ini, belum tentu di perlombaan lain kita mampu menunjukkan kualitas yang sama.

Saya juga sering enggak menang lomba. Kecewa sih ada. Tapi itu bukan berarti lantas saya mencari-cari kesalahan pemenang untuk kemudian melabelnya tidak pantas menang. Selalu belajar dari pemenang, bahkan yang dianggap jauh lebih yunior sekalipun.

Baca ini ya, curhatan gagal lomba beserta analisisnya saya pernah tulis di sini: Mengapa Saya Tidak memenangkan Lomba Blog?

Hayo, mana itu yang kemarin nulis di blognya โ€œ Mbak Wid sih termasuk blogger yang tidak perlu menelan kekalahan banyak-banyakโ€. Hayooo mana? Kamu belum pernah lihat saya kalah sih. Karena emang kalau kalah saya diem saja kok. Dan baru ramai-ramai mensyukuri achivement dengan gegap gempita ketika beroleh kemenangan.

Akhir kata. Juri juga manusia. Tidak ada yang sempurna.

Share

28 thoughts on “Refleksi Juri di Balik Penilaian Beberapa Lomba Blog Komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis

  1. Artikelnya menohok mba.
    Lomba blog niatnya buat having fun sj, biar ga kecewa berat. Menang Alhamdulillah, ga menang juga gpp itung2 melatih skill menulis dan nambahin postingan di blog.

    Saya setuju dengan riset. Kalau mau menang, mesti sungguh2 risetnya. Pengalaman dulu pernah ikut lomba blog sampe riset sendiri foto-foto kondisi jalan dan pedestrian serta riset undang-undang dan aturannya. Alhamdulillah bisa menang.

    Kangen ikut lomba blog lagi. Lomba blog dimana saya bisa sungguh-sungguh bgt riset dan nulisnya.

      1. Aku masih pusing untuk perbaikan ini dan itu pada konten. Berasa udah maksimal setiap ikutan lomba. Kalah pasti menyisakan rasa kecewa. Tapi terus semangat menelaah kekalahan. Selain juga karena belum rejeki ya Mbak Wid. Yang penting nulis dulu lah ?

  2. Semoga komen pertamax, namanya lomba y menang kalah, klo ak selese nulis y udh lupain, ngurus yg lain.

    Klo ada ide, kebetulan bisa y ikut, klo g y selow aja nek ak mbak.

    Cuma bener kata mbak wid, achievement sebenernya bukan berapa kali menang lomba, tapi seberapa besar kedewasaan kita setelah sering ikut lomba dan kemudian harus kalah, stek kendo saja disambi ngopi

  3. Nulis jangan asal-asalan intinya. Ikut lomba kudu membuat tulisan yang terbaik.

    Mengapa tulisan harus diendapkan? Agar penulis bisa menilai tulisannya sendiri secara objektif ketika membaca ulang. Lalu ada sentuhan sana-sini biar tulisannya lebih baik dan memenuhi syarat.

  4. Ampun mbaaaak
    Aku merasa ketabok berkali-kali baca artikel ini
    Semangat belajar lagiiii
    Semangat nulis lebih baik
    Semangat mengamati dan memahami maksud penyelenggara, brand atau siapapun yang menawarkan kerjasama, apalagi buat lomba

    Makasi tulisannya mbak
    Mencerahkan sekali

  5. Makasih banyak Mbak Wid, sudah menuliskan artikel ini. Sebagai pendatang baru di dunia blogging competition, butuh banget nih masukan, sentilan, dan jeweran kayak gini.

    Sembari mengintrospeksi diri nih. Wah iya, ternyata tulisanku sekedar ditumpahkan tapi malah nggak memenuhi ketentuan.

    Sinau lagiii…

    1. Yang udah memenuhi semua ketentuan pun gak mesti menang kok Mbak. tenang aja. Saya selalu bilang ke teman2 di kelas Konten yg saya ampu, kalau mau menang lomba, jangan tulis blogpost bernilai 7 atau 7,5. Bikin yang nilainya di atas 8. itu baru aman. Wkwkwk

  6. Tera kasih mba… Banyaaak sekali hal sepertinya sudah kurencanakan utk dituliskan tapi ternyata eksekusinya msh jauh dari itu. Dan setuju bhw tulisan para pemenang kmrn memang tak hanya bagus namun kumplit. Sekali lagi trmksh sdh mengulas seperti ini mba..

  7. Saya pikir dalam setiap perlombaan penting adanya keterangan dari penyelenggara (dan juri) alasan penentuan pemenang sehingga istilah ‘selera’ juri menjadi tidak ada. Kata ‘selera’ bisa diartikan subyektifitas dan menunjukkan ketidakprofesionalan. Dunia tulis-menulis, termasuk blog, memiliki kaidah2 umum tentang sebuah tulisan yang bagus. Jika diuraikan nantinya akan kembali ke ilmu-ilmu mengenai penulisan. Dan ini berlaku umum dimanapun. Jadi tidak ada istilah ‘selera’. Jika selera-faktor subyektifitas dilakukan, dan juri memenangkan blogpost yang kurang layak maka akan ditertawakan banyak pihak (bagi yang tahu).

    Pentingnya keterangan dari penyelenggara dan juri ini juga sebagai edukasi bagi bloger (termasuk bloger pemula seperti saya ๐Ÿ˜€ ). Oh teryata begini toh sebuah blogpost yang baik dan layak menang.

    Se-ingat saya, dulu zaman mesin ketik ๐Ÿ˜€ tulisan yang dikirim ke media massa (terutama HU Kompas), jika tidak dimuat akan dikembalikan (dikirim lewat pos). Ada koreksi dari redaksi baik soal tata bahasa ataupun isi dan keterangan mengapa tulisan yang dikirimkan tidak dimuat. Ada kaidah umum sebuah tulisan layak muat yang harus dipahami oleh penulis seperti aktualitas, menyangkut kepentingan umum, non SARA, ide atau sudut pandang baru, tulisan dengan bahasa populer atau tidak teknis ilmiah, tulisan runtut dan fokus, maksimal 5,000 karakter atau 1,000 kata, dan lainnya. Dengan kaidah seperti ini, jadi penulis akan paham.

    Begitupun, harusnya, dengan blogpost yang disertakan dalam lomba blog .

  8. Tulisan yang membuat bingung itu, njelimet, nggak gamblang dan to the point ya mba?

    Sejujurnya ikut lomba blog itu energi dan persiapannya besar. Semua elemen bener-bener harus dipikirin. Harus totalitas dan sempurna. Jangan sampai ada celah yang bisa mengurangi poin tulisan.

    Buat saya ikut lomba blog, sebagai ajang latihan. Sudah sejauh mana tulisan ku ini berkembang ke arah yang bagus. Jadi juara itu bonusnya.

    Makasih sudah berbagi mba, jadi tahu sudut pandang juri saat menilai lomba blog yang aslinya bikin puyeng. Hihi

    1. Ah knap pas banget sih, aku merasa dicambuk2 baca ini.

      Otakku kayak dikoyak2 buat mikir mikir. Ayo donk, kembaku ke big why awal ngeblog dulu apa.

      Apa yang dikejar?
      Mau naik level? Coba ngaca? Terus merenung donk jadinya hahahaha…

      Tapi masya Allah, kalimat ini “…yang paling penting dari mengikuti lomba blog adalah kebesaran jiwa.”

      So deeply!
      Makasih mbak, tulisan mbak sampai ke hati. Barokalloh.. semoga jadi amal jariyah. Aamiin

  9. Wah ini tulisan yang membuka sudut pandang baru bagaimana memenangkan lomba blog dari kacamata juri. Membuka kesalahan-kesalahan kontestan yang sering dilakukan. Bahkan untk blogger langganan jawara. Kalau untuk poin “selera juri” saya juga kurang setuju, kesannya jadi seperti suka-suka jurinya gitu. Padahal dalam penjurian, terutama jika itu brand besar, harus proffesional. Terima kasih telah berbagi:)

Leave a Reply to Priyo Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!