Paruh Juli 2015
Terik matahari di musim kemarau 5 tahun lalu kami rasakan di Bekol, padang sabana Taman Nasional Baluran. Tanah kering menghitam dengan rumput merangas. Beruntung ada pohon bidara atau widara dengan cabang membentang beberapa meter menjadi peneduh. Tidak lama berada di sini, Asa dan Raniah berlarian mendekati kerbau liar (Bubalus bubalis) yang sedang berendam di lumpur.
Berjarak dari tempat kerbau liar tersebut, ada 2 tiang kayu yang dipancangkan dan diikat dengan tali. Tengkorak binatang kerbau liar dan banteng dipajang di sini. Sedikit bergetar hati melihat tengkorak begini. Sejauh mata memandang ke arah timur, hanya sabana yang terlihat. Pantaslah , Taman Nasional Baluran ini dinamakan sebagai the Little Africa of Java.
Mengalihkan perhatian ke arah barat, mata saya tertuju pada gunung yang berdiri tegar dengan hiasan langit biru dan selarik awan panjang. Itulah gunung Baluran. Dari nama gunung itulah, taman nasional yang berada di wilayah Banyuputih, Situbondo ini, disematkan pada tahun 1937.
Puas berada di Bekol sabana ini, kami kembali ke mobil dan mengarahkannya ke tempat parkir. Terlihat berpuluh-puluh monyet mendekat. Mereka berkeliaran di tempat parkir, di ladang rumput, di pohon bahkan musala. Ada beberapa penginapan yang terbuat dari kayu dibangun menghadap sabana. Penginapan itu kosong. Beberapa kayu lapuk. Debu bertebaran dan plastik makanan terlihat di pojok teras.
Terbayang suasana penginapan ini bila kami sekeluarga menginap. Suara burung, monyet berkeliaran, kerbau, malam penuh bintang dan sinar matahari lembayung di ujung sabana sana kala pagi hari.
Mendekati tengah hari, kala matahari mendekati zenith-puncak tertinggi di kubah langit, kami berjalan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari beton, menaiki bukit. Di atasnya ada menara besi dengan pijakan dari kayu. Dari atas menara inilah, kami bisa melihat panorama Baluran sangat leluasa. Sabana membentang, langit biru dan gunung. Sungguh anugerah Sang Pencipta menghadirkan alam yang unik di timur pulau Jawa ini.
Tak terasa waktu bergulir cepat.
Ada satu tempat lagi lagi yang perlu dikunjungi yakni pantai Bama. What? Ya ada pantai yang terhitung satu kesatuan dengan Taman Nasional Baluran. Pantai ini sejarak 3 km dari Bekol Sabana.
Jalan berbatu kembali kami lewati sebagaimana tadi kami lalui dari pintu gerbang masuk. Akibat kodisi jalan yang berbatu-batu, butuh waktu lebih dari sejam untuk bisa sampai ke pantai.Kalau sekarang sih, kita tidak butuh waktu lama, karena jalan dari pintu masuk Baluran ke pantai Bama sudah mulus beraspal.
Kanan kiri jalan, kami lihat banyak bongkahan batu hitam yang unik, termasuk jenis pepohonannya seperti pohon mimba (Azadirachta indica) dan pohon pilang atau kabesak (Acacia leucophloea).
Tiba di pantai, pertama terlihat adalah jenis pepohonan yang berbeda dengan di sabana. Pantai ini teduh. Banyak pohon besar, jenis pohon hutan pantai berada di sini.
Hal lain yang menarik saat kami menggelar tikar di sini adalah kawanan monyet yang segera menghampiri. Mereka berlarian di pasir, bergelantungan di pohon dan tentu saja minta makanan.
Ada beberapa rumah penginapan kayu di tepi pantai. Kondisi bangunannya lebih baik di bandingkan rumah penginapan yang ada di sabana. Kita bisa menginap di sini. Juga, menyewa perahu untuk menjelajah pantai atau menyelam di laut.
Sayangnya, di banyak tempat Taman Baluran seluas 25.000 ha tersebut, baik di sabana, tempat parkir, pantai hingga di hutan bakau ini, ada saja sampah plastik bungkus makanan berceceran. Batu karang di pantai-pun tidak luput dari aksi corat-coret pengunjung. Berwisata tanpa merusak alam menjadi tanggung jawab pengunjung. Tanggung jawab yang perlu ditanamkan untuk anak-anak seperti Asa dan Raniah. Dan orang tua memberikan contohnya.
Daftar Isi
Kabut Menyelimuti Puncak Gunung Ijen
6 bulan setelah dari Baluran
Sungguh mencengangkan, di luar perkiraan kami, gunung Ijen begitu ramai di hari itu, hari pertama tahun 2016. Ratusan orang antre di loket masuk di Paltuding. Puluhan tenda berjajar di lapangan. Yang merepotkan adalah saat saya bersama Raniah harus antre ke kamar mandi. Udara dingin Ijen mewarnai petualangan keluarga di hari itu.
Butuh waktu 2 jam perjalanan dari pusat kota Bondowoso untuk mencapai Paltuding. Melewati jalan berkelok-menanjak dan turun. Yang mempesona adalah saat turun menuju pintu masuk kecamatan Sempol (15 km) sebelum Paltuding. Cahaya matahari jam 7 pagi menghampar pada bukit-bukit yang penuh pohon cemara. Dari pintu masuk ini, kami bisa menyaksikan dari jauh kawah wurung (yang sering disebut sebagai kawah teletubies), gunung Raung, gunung Suket dan gunung Ijen sebagai latar belakang.
Kawasan Ijen adalam pesona alam Kabupaten Bondowoso yang tersembunyi, the hidden paradise. Khusus untuk Gunung Ijen, yang berada pada ketinggian 1,000 โ 4,000 dpl dengan luas 2,560 ha memiliki pesona dunia karena keberadaan blue fire, blue sapphire dan kawah belerang yang sangat luas. Kawah seluas 19 km x 21 km pada bagian lantai dan 22 km x 25 km pada bagian atas terjadi pada 3,500 tahun lampau melalui 3 letusan. Air pada danau Ijen ini dikenal sebagai air paling asam di dunia dengan pH (derajat keasaman) 0 – 0.8.
Blue fire dan blue sapphire itu hanya bisa kita amati pada pagi hari sebelum jam 5. Karenanya, kita harus mendaki Ijen dini hari. Pintu masuk Ijen dibuka untuk pengunjung jam 2 pagi. Sesampai di puncak Ijen, kita harus menuruni kawah. Butuh stamina dan persiapan yang lumayan, bila dibandingkan dengan petualangan keluarga saya sekarang ini, yang baru berangkat dari kota Bondowoso jam setengah 6 pagi. ๐
Dua jam setelah berada dari pintu masuk Kecamatan Sempol itu, kami berjibaku menaiki punggung Ijen. Beberapa kali berhenti, mengambil napas, makan camilan dan minum. Maklum, baru kali ini naik gunung beneran ๐ Apalagi kami mendaki bersama dua bocah cilik, harus banyak bertoleransi dengan kekuatan serta mood mereka.
Yang mengherankan adalah dari ratusan pengunjung Ijen, sebagiannya seolah seperti berkunjung ke mall. Make up lengkap, bahkan ada yang mengenakan sepatu hak tinggi. Sepasang mata bermaskara tebal dengan eye liner biru bahkan sempat mencuri perhatian saya. Ada pula yang tidak membawa perbekalan. Hai… ini ada di gunung, guys!
Gelak tawa dan saling menyemati terlontar spontan. ย Ayuk, tinggal 200 meter lagi sampai di puncak (sebuah suara)…Semangat-semangat…5 menit lagi sampai puncak (suara yang lain). Sebentar lagi sudah sampai puncak (suara lain lagi). Setelah dijalani, ternyata masih jauh. Uh.
Asa sudah rewel. “Kok jauh ya,”keluhnya. Namun, setelah kami bujuk bahwa di atas ada warung kopi dan bisa minum cappucino dan makan p*p mie, dia kembali semangat. Raniah lebih kalem.
Suasana gunung semakin lengkap karena kabut turun. Lalu rintik hujan. Dan bau belerang. Bahkan ada saat kabut begitu tebal, punggung orang yang ada di depan terlihat samar. Kami mengenakan jas hujan.
Saat kabut mulai tersingkap menipis, pada ketinggian mendekati puncak, terlihat deretan pohon hitam sisa kebakaran setengah tahun lalu. Waktu itu ada kebakaran hebat di Ijen. Sisa kebakaran dengan pohon yang sudah menjadi arang ini, menyadarkanku tentang pentingnya menjaga dan melindungi hutan.
Setelah rehat setengah jam di warung kopi, perjalanan dilanjutkan. Beberapa batu besar berada di pinggir jalan. Mendekati puncak, terlihat gunung Merapi yang berada di sebelah timur Ijen. Gunung Merapi ini berbeda dengan gunung Merapi yang ada di Jawa Tengah.
Berjalan terseok sambil memegang bahu anak-anak, akhirnya saya di puncak Ijen (ketinggian 2,799 m). Hal yang sangat menakjubkan bagi saya saat itu, gunung Ijen menyajikan pemandangan yang memukau. Kawah belerang yang berwarna hijau toska, asap yang keluar dari kawah, dan kabut yang menurunkan rintik hujan menjadi perpaduan yang meninggalkan kesan mendalam.
Gunung yang berada sejauh 30 km di sebelah barat daya Taman Nasional Baluran ini menghantarkan saya pada pemahaman betapa kecilnya manusia dibandingkan dengan semesta.
Desis Semburan Debu Vulkanis Dari Kawah Bromo
6 bulan setelah dari Gunung Ijen. Paruh 2016
โYeah…yeah…larilah kudaku ..hush..hushh…โ teriak Asa kegirangan. Keempat kuda yang kami naiki dari tempat parkir mobil berlari sembari dipegangi pemilik kuda yagn berada di samping kuda. Asa kegirangan. Kami seperti berlomba siapa yang cepat menuju gunung Bromo sejarak 2,4 km dari tempat parkir.
Tiga puluh menit sebelumnya, setelah jeep yang kami sewa melewati pintu masuk Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), sekelompok pemilik kuda mengejar jeep. Mereka menawarkan kudanya untuk kami sewa. Pemandangan yang cukup mengharukan. Dari jendela belakang jeep, saya mengabadikan momen kejar-kejaran ini.
Tiba dilokasi, mereka menawarkan kudanya. Dari semula 100 ribu per ekor, bisa kami tawar menjadi 80 ribu.
โSeminggu lalu ,โ kata salah seorang dari mereka ,โ saat lebaran , harga sewanya 120 ribu,bu. Kalau sekarang bisa turun. Ini tarif dari tempat parkir ke bagian bawah tangga di Bromo dan balik ke ke tempat parkirโ. Kami menyetujui…
Dan di atas kuda, saya mengeluarkan tongsis. Jangan melewatkan momen langka ini… Keseruan berlangsung diatas kuda. Berlari. Menuju Bromo yang mengeluarkan debu vulkanik yang mengepul tebal ke langit.
Udara dingin, debu bertebaran dihelai kaki kuda, debu yang menempul di pura, relief dataran dan perbukitan, serta semburan abu vulkanik yang keluar terus-menerus, memberikan kesan yang kuat bahwa Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) ini bukan sekedar obyek wisata alam yang mendunia. Energi spiritual kuat terasa.
Sesampai di depan tugu masuk sebelum ke anak tangga Bromo, kuda di tambatkan. Desis suara yang keluar dari kawah mengiringi semburan debu membawa saya pada kesadaran akan kekuatan alam yang besar dan kecilnya diri manusia.
Jalan naik ke bibir kawah diselimuti debu tipis dan berlapis tebal. Kami kesulitan untuk naik. Ada ratusan wisatawan berjalan naik dengan berpegangan pada beton di samping tangga. Terasa susah dan beresiko jika tidak berpegangan pada besi tersebut. Bersusah payah, dan akhirnya kami tiba di bibir kawah.
Ada di bibir kawah Bromo ini, kembali saya dihempaskan pada kuasa besar alam. Debu abu-abu keluar tak henti-henti. Suara yang terdengar begitu jelas, mendesis-desis. Pada sudut hati terbersir rasa takut jua. Pada bibir kawah, bukan keindahan lagi yang terasakan, tetapi kebesaran kekuatan alam yang memaksa manusia untuk mengakui kekerdilannya. Ada beberapa sesaji yang di alasi daun pisang di bawah pagar pembatas.
Sementara, di balik pagar pembatas, mengarah ke kawah Bromo, beberapa warga asli Suku Tengger berdiri. Mereka menangkap dan mengambil lemparan uang atau sesaji dari pengunjung. Saya melempar beberapa lembar uang kertas. Beberapa pengunjung yang lain melakukan hal yang sama.
Tidak lama kami berada di atas kawah Bromo. Pandangan mata menyapu ke seluruh kawasan Bromo dari atas dan semakin kuat keeksotisan alam ini. Relief punggung bukit tanpa pohon membuat guratan-guratan yang menampilkan kesan amat kuat dari alam apa adanya. Tidak jauh di bawah sana, di tengah lautan padang pasir, terdapat Pura Luhur Poten Bromo Ngadisari, tempat peribadatan umat hindu. Sebesar apapun alam, manusia adalah bagian darinya.
Tradisi yang turun temurun menjadikan budaya yang terbentuk terpaut erat dengan alam, dengan lingkungan. Melestarikan budaya artinya ikut menjaga lingkungan supaya lestari selamanya. Mengunjungi Bromo menyadarkanku bahwa kehidupan manusia terpaut erat dengan alam sekitarnya dan Sang Pencipta alam raya ini.
Problem Lingkungan yang Menjadi Ancaman Bagi Keanekaragaman Wisata Alam Indonesia
Pengalaman petualangan di atas, menguatkan sebuah kesadaran bahwa alam yang apa adanya sudah luar biasa, sebenarnya memiliki risiko ancaman akibat kedatangan kita sebagai pelancong. Pembangunan sektor wisata khususnya wisata alam yang kurang memperhatikan aspek sustainability, ditambah perilaku wisatawan yang masih belum sepenuhnya memiliki kesadaran untuk turut menjaga, adalah aspek-aspek yang dapat menjadi penyebab kerusakan bagi keanekaragam tersebut.
Pengelolaan Sampah yang sering belum tergarap dengan baik, minimnya sarana pengelolaan sampah pada lokasi, juga perilaku membuang sampah sembarangan dari para pengunjung, akan menyebabkan bahaya bagi hewan-hewan yang terdapat di lokasi wisata alam. Tebaran sampah tentu juga menjadi gangguan secara estetis. Sampah plastik dapat menjadi bahaya jangka panjang terhadap kelestarian tanah yang ujung-ujungnya juga bahaya bagi flora yang terdapat di sana.
Pembangunan berbagai fasilitas demi memberikan kenyamanan pengunjung, pasti akan mengubah bentang alam. Bukin disulap menjadi deretan hotel dan guesthouse serta pendukung wisata lainnya. Jika tidak dilakukan hati-hati, tak kurang ancaman yang dapat dihasilkan dari sini. Berubahnya Bentang Alam, adalah salah satu biang berbagai bencana.
Berkurangnya Ruang terbuka Hijau juga konsekuensi lainnya. Kenyamanan pengunjung yang terlalu sering menjadi prioritas, semakin mendesak ketersediaan RTH. Hutan dan vegetasi lain digusur, bertransformasi menjadi camping ground, lapangan golf, hotel, restoran, serta fasilitas lain. Kelestarian flora dan fauna terancam karenanya. Apalagi hadirnya manusia pada habitat mereka, seringkali lengkap dengan segala egonya.
Berbagai aktivitas manusia akhirnya juga menimbulkan ekses berupa pencemaran air. Coba tengok, berapa banyak tempat wisata yang menyediakan fasilitas toilet berikut pengolahan limbah cairnya? Amat jarang setahu saya.
Hal yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Wisatawan/Pengunjung
Sebagai pengunjung yang memiliki niat baik, mendatangi wisata alam atas nama alasan meningkatkan kecintaan akan lukisan Tuhan, saya memiliki kesadaran bahwa penting untuk mawas dan menjadi pengunjung yang beradab. Beradab berarti segala aktivitas di sana dilandasi niat baik, sesedikit mungkin harus diupayakan agar jangan sampai jejak kita menimbulkan hal kurang baik bagi semesta di sana. Kesopanan harus dijaga, bukan hanya kepada pengunjung atau sesama manusia, namun sopan dan beradap kepada udara, kepada air, kepada pepohonan, kepada segala makhluk di sana.
Sejak lama saya dan keluarga membiasakan diri membawa bekal sendiri kala dipandang memungkinkan. Makanan dan minuman dalam wadah yang dapat kami gunakan berulang kali hingga bertahun-tahun, adalah upaya agar kami jangan nyampah di tempat-tempat wisata alam yang kami kunjungi. Apalagi kami sadar bahwa fasilitas pengelolaan sampah di lokasi wisata seringkali masih menjadi kendala. Petugas pun juga kerap kewalahan. Bagaimana kami tahu? Saya pernah menemui petugas yang berasal dari volunteer, anak-anak PRAMUKA yang turun-naik di Ijen demi mengangkut sampah pengunjung. Bukankah itu terlalu merepotkan mereka? Amat menguras tenaga saya rasa. Akan amat mudah jika semua pengunjung yang aware terhadap pengelolaan sampahnya. Bertanggung jawab terhadap sampah sendiri, bagi kami bukan hal yang terlalu muluk-muluk untuk BISA diterapkan. Kalau pun kami terpaksa jajan di lokasi, kemasan-kemasan sebisa mungkin kami tampung, untuk kami bawa hingga sampai rumah, atau hingga kami menemui lokasi yang kami anggap lebih tersedia pengelolaan sampahnya.
Segala Larangan Pengelola seyogianya ditaati. Misalnya, TIDAK BOLEH memetik daun atau merusak pohon atau larangan memberi makan satwa dan lainnya. Mengapa? Segala aturan pasti tidak dibuat secara ngawur. Ada alasan di baliknya.
Akhir Cerita
Demikianlah. Acara berpetualang tetap akan kami lakukan pasca pandemi nanti. Wisata alam bukan di Jawa Timur saja, banyak tempat di bagian lain pulau Jawa dan sudut-sudut lain di Indonesia ini yang masih memanggil. Tentunya, dengan sepenuh kesadaran, bahwa keanekaragaman Indonesia yang membanggakan ini, adalah amanat yang harus sama-sama kita jaga.
Baca tulisan lainnya :
Momblogger, penulis buku, dosen, trainer dan pembicara publik. Tema-tema green, health, pola makan sehat, travelling, teknologi dan pendidikan adalah topik yang diminatinya.
Pelatihan yang sudah dan sedang dilakukan adalah teknik penulisan artikel untuk blog, artikel untuk media massa, penulisan buku dan untuk review produk. Pelatihan lain yang juga diadakan adalah cara melangsing. Semua jenis pelatihan tersebut dikolaborasikan dengan buku.
Informasi lengkap profil bisa dilihat di facebook ,ย instagram saya atau https://www.widyantiyuliandari.com/about-me
Woaaahhh menarik taman nasional di Indonesia ini. TN baluran dan bromo sudah pernah saya kunjungi, yang belum pernah hanya Ijen aja, huhu. Sudah dua kali membuat rencana kesana tapi belum kesampaian.
Sayang banget yach banyak tempat wisata, terutama wisata alam, berkurang keindahannya dan keasliannya karena pengunjung membuang sampah sembarangan, dan aksi corat-coret. Edukasi dari orang tua ke anak sangat penting untuk menjaga dan melestarikan wisata alam itu.
kalau saya lagi wisata alam, saya usahakan untuk membawa lagi sampah-sampahnya, seperti beberapa bulan lalu yang naik gunung, sebisa dan seharusnya membawa kembali sampah-sampah itu
Sepertinya kurikulum cinta lingkungan harus benar-benar diterapkan di sekolah. Dimana-mana personal lingkungan hidup menjadi momok. Walaupun ada yg membersihkan sampah, dalam kurun waktu yang lama pasti ada lagi orang yang buang sampah sembarangan
Pengen banget menjelajah kesana mbak. Apalagi naik motor. Banyak titik spot foto yg tak akan terlewati ne
Silahkan mas, banyak spot foto yang menggugah untuk diabadikan di sana.