rawfood dan vegan

Melestarikan Bumi Dari Dari Dapur Kita

Share

Seorang non-vegan yang naik sepeda, masih kalah ramah lingkungan dibanding seorang vegan yang naik SUV.

Wow….

Rasanya quote tersebut lebay amat yak? Saya mendapatkannya dari sebuah web yang mengkampanyekan vegetarianism, di luar sono. Sayang sudah lupa webnya, sudah lama pula quote ini saya dapat. Dan, meski terdengar lebay, rasanya menarik bagi saya untuk mengetahui lebih dalam tentang vegetarianism dan sustainability. Jadi, mumpung hari ini adalah Hari Bumi alias Earth Day, ijinkan saya ceritakan di sini ya.

Rasanya sudah sangat sering dibicarakan, berbagai permasalahan serius terkait masa depan bumi ini. Sebut saja, terbatasnya akses air bersih bahkan kekeringan, krisis energi, pencemaran (air,tanah, udara) , pemanasan global  dll.

Salah satu penyebab terjadinya berbagai permasalahan tersebut adalah faktor peningkatan populasi. Semakin bertambah jumlah manusia, tentunya diikuti peningkatan kebutuhan salah satunya makanan, air energi, dsb.

Sebuah studi yang dilakukan di California, Amerika Serikat tahun 2009 melaporkan bahwa, untuk memproduksi pangan di sana telah digunakan 50% lahan dari keseluruhan total luas wilayah, 80 persen air bersih dan 17 persen energi fosil. Angka-angka ini menunjukkan, bahwa memang urusan perut ternyata memiliki relasi yang kuat dengan sustainability.

Berita baiknya adalah, saat ini makin terlihat munculnya kesadaran berhubungan dengan makanan. Misalnya vegetarian yaitu pola makan yang meniadakan asupan protein hewani dari diet hariannya atau bahkan rawfoodism, yaitu kalangan yang hanya makan makanan yang tak tersentuh api alias makanan segar/mentah (sayur, buah dan bebijian). Munculnya kesadaran dalam hal makan tersebut, mungkin sebagian memang berlatar belakang alasan kesehatan. Namun, banyak pula yang melakukannya juga karena faktor dukungan terhadap kelestarian lingkungan. Baca juga: Menjadi traveller yang peduli lingkungan.

Vegetarian misalnya, pola makan ini disebut-sebut sebagai pola makan yang sangat ramah lingkungan. Mengapa? Karena sektor peternakan sebagai penghasil daging (Dan protein hewani lainnya) disebut-sebut telah memboroskan penggunaan air. Memproduksi sekilo daging membutuhkan 13.000 – 100.000 liter air, sedangkan untuk memproduksi gandum dalam jumlah yang sama hanya membutuhkan 1000-2000 liter air.

Menu makanan dengan makanan yang tidak diolah memberikan nutrisi optimal bagi tubuh.

Bahkan,menurut studi yang disebutkan di awal tulisan ini, diet non-vegetarian membutuhkan air 2,9 kali lebih banyak dibandingkan vegetarian. Pola makan non vegetarian juga dilaporkan membutuhkan 2,5 kali lipat energi , 13 kali lipat pupuk dan 1,4 kali lipat pestisida lebih banyak dibandingkan dengan pola makan vegetarian. Baca juga: Cinta buah lokal wujud semangat cinta lingkungan.

Tulisan ini bukannya mempengaruhi agar semua pembaca menganut pola makan vegetarian. Bagaimanapun di negeri ini mayoritas muslim dan tak elok “mengharamkan” apa yang dihalalkan Tuhan. Namun, setidaknya perlu dipikirkan, bagaimana mengkonsumsi daging (dan protein hewani) lainnya secara proporsional. Artinya, konsumsi sebatas dibutuhkan tubuh saja, tidak berlebihan.

Saya dan suami sudah mencoba mengurangi asupan protein hewani sejak 3 tahunan terakhir. Sama sekali tidak minum susu, kalau anak-anak masih minum susu UHT sesekali. Daging merah amat jarang kami makan, paling 1-2 kali dalam sebulan, begitu pula dengan ayam dan ikan.

Mengurangi daging apakah tidak akan membuat tubuh defisiensi zat besi dan berbagai unsur lainnya? Hiromy Shinya menyebutkan dalam bukunya: Terapi Enzim, bahwa manusia sebenarnya hanya membutuhkan asupan daging atau protein hewani sebesar 10 persen dari total jumlah makanan keseluruhan. Kebutuhan protein, bisa dipenuhi dengan mengasup aneka sumber protein nabati secara variatif dalam jumlah cukup. Bagaimana dengan zat besi dan mineral lainnya? Sayur-sayuran adalah sumber yang baik untuk memenuhinya. Bahkan banyak info yang menyebutkan sumber-sumber nabati lebih lengkap unsur mikronya dan lebih mudah serap.

Contoh sayuran yang langsung bisa dikonsumsi yang biasanya dijadikan lalapan.

Jadi, dengan berbagai alasan di atas, inilah saatnya untuk mulai lebih memprioritaskan makanan yang berasal dari tetumbuhan (plant base diet). Jika ini menjadi gerakan yang mengglobal, maka akan besar kontribusinya terhadap sustaiabilitas bumi ini. Menyelamatkan bumi sederhana saja kok. Bisa dimulai dari urusan perut. Bisa dimulai dari dapur kita. Selamat hari Bumi 2015.

Share

13 thoughts on “Melestarikan Bumi Dari Dari Dapur Kita

  1. Tfs mbak..:) bener banget sih memang, gaya hidup yang ramah untuk bumi bisa dimulai dari dapur…termasuk makan salad (masih belajar suka) haha…habis gorengan lebih enak mbak.. salam kenal 🙂

  2. Sebagai khalifah di muka bumi manusia selayaknya ikut peduli dengan pelestarian alam ya Jeng.Jangan malah membuat kerusakan yang akibatnya bisa merugikan kita semua.
    Terima kasih artikelnya yang mencerahkan.
    Salam hangat dari Surabaya

  3. Mbak, saya cari makna quote di atas kok ttidak ada ya? Tertarik krn heran, vegan sepeda kok kalah dgn vegan SUV yg saya analogikan sbg mobil SUV. Atau saya yg tidak paham?

    1. Sebenarnya ada hitung-hitungannya Mbak Susi, tapi kalau saya tulis semua akan sangat panjang. Diantaranya dilihat dari kebutuhan air sektor peternakan, lalu kebutuhan lahan juga, emisi gas rumah kacanya juga yaitu CH4 yang kira-kira 21 kalinya CO2 dalam menyebabkan kenaikan suhu bumi. Belum lagi ditinjau dari kontribusi sektor ini dalam menyebabkan pencemaran (air maupun tanah). Kira-kira begitu mbak.

  4. Saya rasanya belum sanggup kalau harus vegetarian. Berusaha makan dengan komposisi seimbang aja. Itupun udah lumayan berat karena saya masih sering tergida untuk makan apapun yang saya mau 🙂

Leave a Reply to Pakde Cholik Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!